Kamis, 24 April 2008

UAN oh UAN

Sabtu minggu lalu, tanggal 19 April 2008, anak-anak melaksanakan doa bersama. Sebelum acara berlangsung, beberapa anak sudah ke ruang guru untuk meminta doa restu. Jadi haru juga sebenarnya, mengingat sebentar lagi mereka kan menempuh ujian. Lupa sudah dengan kenakalan mereka pada hari-hari lain. Lupa sudah kalau sebelumnya saya sudah berjanji untuk tidak mau salaman sama mereka. Nyatanya saya luluh juga, haru juga. Ah, saya memang tidak pernah bisa benci sama mereka, apapun yang mereka lakukan. Nggak salah kalau dulu waktu ngajar kelas satu, saya bilang, “I will always love you, no matter what you do.” Saya bukan sedang ngegombal, saya Cuma pengen mereka tahu kalau saya sayang sama mereka. Jadi, saya minta mereka sayang sama saya juga, dong. Dalam konteks jangan suka nakal kalau pas pelajaran saya. Ini bentuk persuasif saya, karena saya nggak bisa marah-marah seperti beberapa rekan guru yang ‘jago’ marah.
Ujian Akhir Nasional yang beberapa hari lagi akan mereka tempuh memang benar-benar sebuah ‘ujian’. Gimana enggak? Tahun ini ujian yang dulunya Cuma 3 mapel, jadi 6 mapel. Tambahan yang mengerikan adalah untuk anak jurusan Ilmu Alam. Mereka harus mengerjakan Fisika, Kima dan Biologi sebagai tambahan. Apa nggak mengerikan? Anak Ilmu Sosial sebenarnya nggak kalah mengerikan juga. Mereka harus mengerjakan Matematika, Sosiologi dan Geografi. Dua yang belakang mungkin tidak terlalu masalah. Tapi yang pertama, wah mengerikan sekali buat mereka. Anak IS itu biasanya melarikan diri dari IS karena mereka menghindari Matematika yang diujikan sebagai Mapel UAN di IA. Eh, malah tahun ini Matematika dijadikan mapel UAN di IS.
Nggak ngerti apa sebenarnya maunya Pemerintah dengan segala macam UAN ini. Wong nyatanya Cuma bikin semua orang bingung dan panik. Ya gurunya, ya muridnya, ya orang tua muridnya. Semua orang repot. Alhasil, malah ada aturan aneh yang Cuma bikin siswa jadi anak-anak nggak jujur dengan saling bekerja sama atau menyontek dalam UAN. Masak ada aturan untuk pengawas UAN, dilarang berjalan-jalan diantara siswa ataupun duduk di sebelah siswa. Apa nggak lucu? Siapapun pasti langsung paham bahwa aturan ini dibuat supaya anak-anak bisa dengan mudah berbuat ‘tidak jujur’. Mungkin Pemerintah justru ingin mencetak koruptor-koruptor baru yang brilian demi mempertahankan popularitas sebagai negeri paling korup? Entahlah....
Mestinya kita bertanya, mau kemana pendidikan Indonesia? Karena nggak jelas sama sekali.

Sabtu, 19 April 2008

JANGAN SEKOLAH KALAU NGGAK PUNYA UANG

Sebagai orang Indonesia, banyak yang nggak boleh (nggak bisa) kita lakukan kalau nggak punya uang. Nggak Cuma urusan sekolah saja. Banyak’ jangan’ yang lain. ’Jangan sakit kalau nggak punya uang’, karena biaya rumah sakit malah bikin langsung sekarat. Terakhir malah ’jangan buang air di tempat umum kalau nggak punya uang’. Lha gimana, setiap tempat umum ada kotak uangnya di depan kamar mandinya. Pemerintah aja yang nggak becus ngurus warganya, sampai kamar mandi umum aja di’pajakin’. Payah..

Sebenarnya saya Cuma mau ngomongin tentang murid saya yang nggak bisa bayar SPP. Ceritanya, kata teman saya yang Pembina Pramuka, dia itu ketua Pramuka yang aktif dan bertanggung jawab sekali menjalankan tugasnya di Pramuka. Ibarat kata, tanpa dia Pramuka di sekolah ini bakal morat marit. Suatu ketika dia minta ijin ikut RAIMUNA. Eh, sama Waka urusan siswa yang dimintai ijin malah dia dimarah-marahin, karena dia belum beres urusan SPPnya. Walah, kok bisa? Apa hubungannya? Saya heran. Ternyata untuk ikut RAIMUNA itu diharap si anak bayar 50% dari semua biayanya yang dikeluarkan. Lha anak ini kan nggak mungkin bisa ikut bayar, wong duit SPP saja dia nunggak. Saya jadi pengen tahu, berapa lama dia nggak bayar SPP? Ternyata di kelas satu saja ada tiga bulan yang belum dibayar. Kelas dua ini malah dia belum bayar sama sekali. Waduh! Katanya dulu di kelas satu itu dia pernah dapat beasiswa, tapi terus berhenti entah kenapa.

Kasihan sekali, padahal anak ini selain aktif juga pintar. Kelas satu dulu dia murid saya. Nilainya lumayan. Sekarang dia masuk IA, kelasnya anak yang pinter karena kalau nggak pinter dia nggak mungkin bisa masuk IA. Meski di IS bukan berarti nggak ada anak pintar.

Cerita lain, ada anak yang sampai bilang sama teman saya ini (secara dulu di kelas satunya anak walinya dia), kalau dia mau deh dijadiin pembantu, atau buruh cuci setrika, supaya dia bisa dapet uang buat bayar SPP. Sebenarnya saya pengen banget bantu, tapi saya lagi nggak butuh pembantu. Pembantu di rumah sudah ada, dan urusan cuci baju saya dan anak-anak dihandle suami saya, setrikaan saya yang urus. Kalau pakai tukang cuci setrika jangan-jangan kami malah tambah gendut karena kurang aktivitas. Halah! Maksud saya, mending kalau ada rejeki saya bantu dia aja, nggak perlu dia jadi pembantu di rumah saya segala. Nerima orang jadi pembantu kan juga nggak sesederhana itu. Agak ribet urusannya.

Tadi pas rapat, ada informasi juga mengenai ini. Kata ’yang terhormat’ Waka Siswa tadi, uang beasiswa dari PEMKOT Semarang memang dikurangi. Sekolah ini yang dulu dapet kuota untuk 265 siswa, tahun ini Cuma dapet 150 siswa. Lha yang 115 siswa silakan cari sendiri, ngemis atau ngamen dimana kek... hehe. Kok jadi sarkasme gini. Lha wis, jengkel sekali, masak kuota itu dikurangi karena katanya Pemkot Semarang mau mengalokasikan dananya ke Karang Taruna dan RT RW. Walah!

Yah... akhirnya saya Cuma bisa bilang, ’jangan sekolah kalau nggak punya uang’.

Btw, saya jadi pengen bikin menggalang dana untuk anak-anak yang kurang mampu gini...ada yang minat untuk beramal?