Selasa, 12 Februari 2008

CHANGE PARTNER

Ada kalanya ganti pasangan itu penting. Saya bukan sedang membicarakan masalah pasangan hidup, karena dengan pasangan hidup, kita sudah kontrak mati. Atau setidaknya, dalam agama saya, kita harus commit sampai ada sesuatu yang cukup beralasan untuk memisahkan kita dengan pasangan hidup.

Saya sedang membicarakan murid-murid saya tadi pagi di kelas XI (dua SMA) IS3. Anak-anak masih pada lemes karena perjalanan ke Bali yang melelahkan (mereka pulang Senin lalu). Pe-er bahasa Inggris tidak dikerjakan karena mereka memang berangkat Kamis pagi, pe-er saya berikan hari Rabu-nya. Mana sempat mikir bikin pe-er kalau mau pergi ke Bali. Bali..gitu, loh! Pasti mereka excited banget. Jadi satu kelas tidak ada yang sadar ada pe-er apalagi bikin.

Apa saya harus marah, wow tidak, lah. Buat apa. Saya tidak suka marah. Apalagi saat ini hati saya lagi senang terus jadi saya lagi pengen senyum dan tidak terpikir untuk marah. Materi saya bahas dulu, tentang ”expression of hate and love”. Dialog di LKS saya suruh mereka baca, pertanyaan saya tanyakan.

Next, ini yang penting. Tiba-tiba saya terpikir untuk ngerjain mereka sedikit. Setahu saya mereka sudah duduk dengan teman sebangku yang itu-itu saja sejak naik kelas dua kemarin. Padahal harusnya mereka mulai bergabung, ganti teman, untuk saling mengenal dan menyesuaikan diri.

Maka mereka saya suruh berdiri. Beberapa diantara mereka langsung tanya, agak protes, ” What for, ma’am?” Buat apa , bu? Wah, itu otoritas saya, dong. Saya suruh mereka berganti pasangan. Karena materinya saja ”Love and hate” kayaknya lebih seru kalau mereka berpasangan cowok-cewek. Di IS komposisi anak tidak seimbang, sehingga pasti ada cewek yang tidak kebagian pasangan cowok. Untuk cewek yang tersisa ini saya minta tetap ganti teman, tidak boleh teman sebangku mereka selama ini. Lalu saya suruh mereka membuat dialog berdasarkan ekspresi-ekspresi yang sudah diberikan.

Saya kira mereka harus juga keluar dari zona nyaman. Berganti teman sebangku jelas bukan hal yang mudah. Ada yang cemberut dan pengen protes karena saya suruh pindah duduk tapi tidak bisa apa-apa. Mereka tahu, kalau saya sudah punya mau, tidak perlu membantah lagi. Akhirnya mereka patuh saja.

Then I saw what happened. Sebuah pemandangan yang menyenangkan melihat mereka asyik dengan pasangan barunya. Yang berpasangan cowok dengan cewek tampak lebih asyik. Hebatnya ada yang jadi bersemangat hingga hanya dalam waktu 15 menit mereka sudah selesai membuat dialog dan bertanya apakah boleh langsung ’perform’ di depan kelas. Jelas saya bolehkan, ini kan a good sign.

Jadi saya kira benar kalau dibilang negosiasi antar cross gender itu akan lebih berhasil dari pada yang tidak. Perbincangan antara relasi laki-laki dan perempuan akan lebih berhasil daripada laki-laki dengan laki atau perempuan dengan perempuan.

Tapi bukan berarti candaan saya sama Pak Hari, guru Matematika saya yang sekarang teman saya, tentang ganti pasangan harus dibuktikan. Pak Hari Cuma punya satu anak, laki-laki, yang sekarang sudah kuliah. Saya selalu meledek kalau beliau tidak mampu. Pak Hari mengiyakan saja. Saya bilang,

” Wah pak, kalau istrinya ganti kira-kira mampu nggak, pak?” saya bercanda.

”Ya nggak tahu, mungkin harus dibuktikan dulu, ” katanya.

Saya yakin beliau bercanda juga karena saya tahu pasti beliau suami yang setia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda