Kamis, 28 Februari 2008

SINETRON

(LANJUTAN CHANGE PARTNER)

Ini cerita tentang gimana anak-anak pas maju setelah mereka saya suruh untuk membuat pasangan cowok-cewek dan membuat dialog dengan materi ‘expression of love and hate’. Kegiatan selanjutnya adalah, mereka saya suruh menghapal dialog yang mereka bikin dan maju ke depan. Karena bulannya Pebruari, saya berikan coklat kepada mereka yang jadi penampil terbaik.

Wuih, ternyata anak-anak dari kelas XI IS 3 ‘gila banget’. Kebetulan kelas ini yang pertama saya suruh maju. Tadinya waktu mereka sedang menghapal, ada yang protes. Yulianto bilang, “bu, ngapain sih kok pakai acara gini segala”?

“Lha kan memang materinya ‘love and hate’, so what?” kata saya.

“ Saya nggak bisa berekspresi dengan dialog yang begini, bu, “ kata dia lagi.

” Ya, kamu harus mengeluarkan sisi romantis kamu,” kata saya sok tahu.

Lalu mereka saya suruh maju satu per satu. Tidak mudah membuat mereka langsung maju begitu dipanggil. Biasanya masih minta waktu untuk menghapal sekali lagi. Mereka memang payah. Waktu saya suruh mengambil dialog di meja saya, tidak ada yang mengambil. Walhasil dialog memang baru saya bagi sebelum mereka saya suruh maju. Maksud saya kalau mereka mau ambil dialog itu di meja saya kan mereka bisa punya banyak waktu untuk menghapal.

Tiba saatnya mereka saya panggil ke depan. Awalnya tidak ada yang istimewa. Lalu sampai pada Gilang dan Yuli Supriyanti. Gilang yang gagah ganteng memilih berpasangan dengan Yuli yang gendut, item dan sama sekali nggak cantik. Yuli ini juga pendiam, mungkin ada rasa minder gitu. Tapi teman-temannya sayang pada dia karena dia baik hati.

Waktu mereka maju, saya kira mereka akan biasa-biasa saja. Karena awal-awalnya juga Cuma si Gilang yang yakin sekali dengan dialog yang dia bawakan. Yuli agak ragu-ragu karna nggak hapal. Tiba-tiba di akhir dialog, Gilang menarik kedua tangan Yuli. Sontak anak-anak riuh rendah. Gilang sama sekali tidak malu, meski Yuli jadi diam dan memandang saya. Sayangnya Yuli tidak bisa mengimbangi Gilang yang cukup lancar dengan dialognya. Toh sebenarnya saya sudah berencana memberikan mereka coklat kalau saja tidak ada Yulianto yang lebih ’gila’ lagi.

Ratih, pasangan Yulianto, yang sudah maju duluan pasang tampang jutek di depan, sementara Yulianto mendekati meja guru dan meraih bunga dari vasnya yang ada di meja guru. Lalu mereka melakukan dialog tentang pasangan yang awalnya saling marah, melalui sedikit rayuan (gombalan), akhirnya berbaikan lagi. Di akhir dialog Yulianto berlutut dan memberikan bunga yang selama dialog dia sembunyikan di balik punggungnya.

Semua tertawa senang, saya juga kagum mereka punya ide seperti itu. Dan ternyata, penampilan Gilang- Yuli dan Yulianto-Ratih memang penampilan ter’gila’ yang saya temui. Di kelas-kelas lain, tidak ada yang se-istimewa mereka. Saya masih terkenang bagaimana Gilang dengan mantap memegang tangan Yuli. Serasa seperti sinetron-sinetron sekarang yang menceritakan si jelek bisa dijatuhi cinta oleh si ganteng atau si cantik. Si miskin bersanding dengan si kaya. Juga romantisme Yulianto yang ’sinetron banget’. Toh ini menunjukkan mereka mulai berani berekspresi. Dan saya mengagumi mereka, anak-anak yang dicap sebagai anak-anak nakal dan bodoh Cuma karena mereka masuk di jurusan Ilmu Sosial. Mereka sebenarnya anak-anak hebat.

Sabtu, 16 Februari 2008

MARAH PADA PEMBUAT TEMPE GORENG

Beberapa waktu lalu kantor saya, SMA 9, mengundang sorang motivator. Waktu saya dapat undangannya, saya langsung senang. Terbayang saya akan dapat banyak jawaban dari banyak pertanyaan dalam hidup saya.

Sayangnya, pas harinya saya datang terlambat. Saya harus mengantar anak saya dulu yang masih TK piknik ke pantai. Sialnya, dalam perjalanan pulang, yang harusnya kalau lancar saya tidak terlalu terlambat untuk mengikuti ceramah tersebut, mikrolet yang kami carter malah mogok segala. Alhasil saya datang pas ceramah sudah jalan agak lama. Kata ibu, yang juga guru di SMA itu juga dan ikut dari awal, materinya bagus banget. Yah, anyway saya masih bersyukur karena masih dapat sedikit. Dan ternyata yang sedikit itu sangat membekas di hati saya sampai sekarang sehingga benar-benar mengubah total cara pandang saya.

Yang saya dapat dari ceramah itu, pertama, semacam pembenaran atas apa yang selama ini saya lakukan, yaitu untuk menahan marah. Saya kira dapat petuah apapun, yang namanya marah itu tidak perlu. Saya sudah pernah membaca bahwa marah itu sama saja melepas energi positif. Dan itu jelas tidak baik, kan? Lebih baik meraih energi positif dengan memaafkan orang daripada harus melepaskan energi positif dan justru orang lain yang mendapat energi positif dari kita. Ada beberapa hadist juga yang menyebutkan bahwa marah itu tidak baik.

Masalahnya, pendapat saya ini bertentangan dengan ibu. Menurut beliau, kalau tidak marah nggak lega. Yah, namanya orang kan beda-beda. Kami jalankan apa yang kami yakini benar dan enak buat kita aja. Ibu saya lebih suka meluapkan amarah, saya lebih suka menahannya, ya nggak apa-apa. Ternyata setelah hari itu ibu jadi tahu bahwa pandangan saya selama inilah yang benar. Sepertinya setelah itu beliau mulai belajar untuk memaafkan dan menahan marah daripada mengeluarkannya.

Pandangan lain yang benar-benar merubah total cara pandang saya selama ini adalah analogi yang diberikan pak Bambang, nama motivator tersebut, analogi mengenai pembuat tempe goreng. Ini diberikan dalam konteks memberikan maaf pada orang lain.

Dia bilang,

”Kalau pembantu kita membuat tempe goreng, siapa yang kita marahi? Pembantu kita, atau tempe gorengnya?”

”Ya jelas pembantu kita, dong.”

Sampai di sini saya belum tahu kemana dia akan membawa kami. Saya terhenyak ketika kemudian dia bilang,

”Kalau ada orang yang membuat anda jengkel lalu marah, sementara orang itu adalah ciptaan Tuhan, siapa yang ada marahi sebenarnya?”

Iya, ya. Saya baru sadar, inilah analogi yang pas untuk menghalangi kita dengan mudah menghakimi orang lain. Saya jadi ingat waktu saya curhat ke teman saya ketika ada yang menyindir masa lalu saya. Saya bilang, ”Bu, kalau bisa milih, saya pasti juga milih untuk memiliki masa lalu yang baik-baik saja, seperti ibu itu (yang menyinidir saya). Tapi inilah jalan yang diberikan Allah untuk saya. Saya harus terima dengan ikhlas.”

Akhirnya, pada dasarnya sebagai manusia kita memang tidak bisa lepas dari pikiran bahwa semua jalan ini sudah ada yang mengatur from the very beginning. Mungkin jalan saya juga sudah tercatat dengan detil sejak saya ceprot lahir ke dunia. Yang harus saya lakukan adalah berbuat yang terbaik dalam kerangka mencari ridlo Allah.

Sejak mendapat ceramah itu, saya tidak bisa lagi jengkel sama orang tanpa mengingat bahwa dibalik semua yang menjengkelkan itu ada Sang Pembuat yang memang menciptakan orang seperti itu on a purpose. Kalau ada teman yang menjengkelkan karena sombong dan selalu mau menang sendiri, saya yang awalnya jengkel akhirnya tidak jadi karena tahu memang itulah yang dimaksudkan Sang Pembuat. Kalau ada teman yang suka menjelek-jelekkan Mrs X padahal akhirnya dia sendiri menjilat pada Mrs X, saya juga tidak bisa terlalu jengkel lagi. Kalau ada murid yang sampai bikin eneg saking nakalnya, saya Cuma bisa bilang, ”Subhanallah”. Diberi hidup sekali di dunia saja kok harus menjalani jadi orangyang nggak bener dan jadi musuh orang banyak (lha semua guru jengkel setengah mati sama dia)

Meski analogi yang hebat tentang pembuat tempe goreng tadi begitu dalam menusuk hati saya hingga saya tidak mudah lupa pada Sang Pembuat, toh ternyata ceramah yang mengubah cara pandang saya secara total itu tidak terlalu berarti buat sementara teman. Beberapa waktu setelahnya, di ruang guru ada yang bilang,

”Yah itu kan pak Bambang (si motivator tersebut), gampang buat dia bicara seperti itu. Tapi kan buat kita nggak mudah ngelakuinnya. Memangnya semua orang disuruh seperti dia? Ya nggak bisa.”

Wah, kalau saya sih, bukannya ”itu kan dia, dia bisa. Saya sih nggak bisa” tapi saya balik ”kalau dia bisa kenapa saya enggak?” Gitu aja.

Toh orang nggak selalu sama. Balik lagi, Sang Pembuat memang maunya begitu....

Sesungguhnya, keadaanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : ”Jadilah!” maka terjadilah ia.(QS.Yassin:82)

Selasa, 12 Februari 2008

CHANGE PARTNER

Ada kalanya ganti pasangan itu penting. Saya bukan sedang membicarakan masalah pasangan hidup, karena dengan pasangan hidup, kita sudah kontrak mati. Atau setidaknya, dalam agama saya, kita harus commit sampai ada sesuatu yang cukup beralasan untuk memisahkan kita dengan pasangan hidup.

Saya sedang membicarakan murid-murid saya tadi pagi di kelas XI (dua SMA) IS3. Anak-anak masih pada lemes karena perjalanan ke Bali yang melelahkan (mereka pulang Senin lalu). Pe-er bahasa Inggris tidak dikerjakan karena mereka memang berangkat Kamis pagi, pe-er saya berikan hari Rabu-nya. Mana sempat mikir bikin pe-er kalau mau pergi ke Bali. Bali..gitu, loh! Pasti mereka excited banget. Jadi satu kelas tidak ada yang sadar ada pe-er apalagi bikin.

Apa saya harus marah, wow tidak, lah. Buat apa. Saya tidak suka marah. Apalagi saat ini hati saya lagi senang terus jadi saya lagi pengen senyum dan tidak terpikir untuk marah. Materi saya bahas dulu, tentang ”expression of hate and love”. Dialog di LKS saya suruh mereka baca, pertanyaan saya tanyakan.

Next, ini yang penting. Tiba-tiba saya terpikir untuk ngerjain mereka sedikit. Setahu saya mereka sudah duduk dengan teman sebangku yang itu-itu saja sejak naik kelas dua kemarin. Padahal harusnya mereka mulai bergabung, ganti teman, untuk saling mengenal dan menyesuaikan diri.

Maka mereka saya suruh berdiri. Beberapa diantara mereka langsung tanya, agak protes, ” What for, ma’am?” Buat apa , bu? Wah, itu otoritas saya, dong. Saya suruh mereka berganti pasangan. Karena materinya saja ”Love and hate” kayaknya lebih seru kalau mereka berpasangan cowok-cewek. Di IS komposisi anak tidak seimbang, sehingga pasti ada cewek yang tidak kebagian pasangan cowok. Untuk cewek yang tersisa ini saya minta tetap ganti teman, tidak boleh teman sebangku mereka selama ini. Lalu saya suruh mereka membuat dialog berdasarkan ekspresi-ekspresi yang sudah diberikan.

Saya kira mereka harus juga keluar dari zona nyaman. Berganti teman sebangku jelas bukan hal yang mudah. Ada yang cemberut dan pengen protes karena saya suruh pindah duduk tapi tidak bisa apa-apa. Mereka tahu, kalau saya sudah punya mau, tidak perlu membantah lagi. Akhirnya mereka patuh saja.

Then I saw what happened. Sebuah pemandangan yang menyenangkan melihat mereka asyik dengan pasangan barunya. Yang berpasangan cowok dengan cewek tampak lebih asyik. Hebatnya ada yang jadi bersemangat hingga hanya dalam waktu 15 menit mereka sudah selesai membuat dialog dan bertanya apakah boleh langsung ’perform’ di depan kelas. Jelas saya bolehkan, ini kan a good sign.

Jadi saya kira benar kalau dibilang negosiasi antar cross gender itu akan lebih berhasil dari pada yang tidak. Perbincangan antara relasi laki-laki dan perempuan akan lebih berhasil daripada laki-laki dengan laki atau perempuan dengan perempuan.

Tapi bukan berarti candaan saya sama Pak Hari, guru Matematika saya yang sekarang teman saya, tentang ganti pasangan harus dibuktikan. Pak Hari Cuma punya satu anak, laki-laki, yang sekarang sudah kuliah. Saya selalu meledek kalau beliau tidak mampu. Pak Hari mengiyakan saja. Saya bilang,

” Wah pak, kalau istrinya ganti kira-kira mampu nggak, pak?” saya bercanda.

”Ya nggak tahu, mungkin harus dibuktikan dulu, ” katanya.

Saya yakin beliau bercanda juga karena saya tahu pasti beliau suami yang setia.